Cara Mengobati Anemia dan Penyebab Kurang Darah pada Anak - Penyakit ini paling banyak ditemui di Indonesia, terutama pada usia balita, usia sekolah, pasangan usia subur, dan ibu hamil. Kita mengenalnya sebagai kurang darah. Tepatnya, jelas dr. Syarif Rohimi, SpA dari Klinik Anakku, Bekasi, kurang kadar hemoglobin, yang ukurannya di bawah standar normal menurut umur dan jenis kelamin. Hemoglobin adalah sel darah merah yang mengangkut oksigen yang dibutuhkan tubuh dan zat-zat nutrisi yang digunakan untuk sel-sel tubuh.
Normalnya, kadar hemoglobin pada bayi sekitar 6 gram per desiliter (g/dl), sedangkan untuk balita 12 g/dl. Perbedaan karena jenis kelamin hanya sedikit. Berdasarkan kriteria WHO, batas ambang anemia bila di bawah ukuran standar. Untuk balita, misal, bila kadar hemoglobinnya di bawah 11 g/dl.
Umumnya, di Indonesia dan negara-negara berkembang, anemia pada anak yang paling banyak ditemui adalah anemia gizi, yaitu defisiensi zat besi. "Bila sel darah merah kekurangan zat besi, maka kemampuan hemoglobin untuk mengangkut oksigen, lebih kecil atau berkurang, hingga mengganggu metabolisme tubuh," jelas Syarif.
PENYEBAB
Banyak faktor yang menyebabkan terjadi kekurangan zat besi, antara lain:
* Pertumbuhan anak yang cepat sekali.
Seperti diketahui, pada tahun-tahun pertama kehidupan, pertumbuhan anak terjadi cepat sekali. Normalnya, kenaikan BB rata-rata pada usia bayi setiap bulannya adalah 1 kg. Namun, ada juga bayi yang tumbuhnya cepat sekali, misal, usia 3 bulan sudah 8 kg BB-nya.
"Pertumbuhan anak yang cepat, sebetulnya baik. Diharapkan tumbuh kembangnya juga bagus. Hanya saja hati-hati, apakah si anak kurang zat besi atau tidak. Jadi, harus dideteksi dan diantisipasi. Sebab, pertumbuhan anak yang terjadi dengan cepat, relatif memerlukan zat besi yang berlebihan," jelas Syarif.
* Pola makan kurang tepat.
Misal, bayi usia 7 bulan hanya mengkonsumsi ASI. Padahal, waktu bayi lahir, sumber zat besi yang ada di organ hatinya hanya cukup sampai usia 4-6 bulan. Jadi, setelah usia 6 bulan, bayi harus diberi makanan tambahan yang mengandung cukup zat besi.
Itu sebab, pemberian AS eksklusif pun cuma 6 bulan, selanjutnya bayi harus dikenalkan makanan tambahan semisal bubur susu dan buah-buahan (untuk bayi yang oleh suatu sebab tak mendapat ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan dimulai usia 4 bulan), lalu bubur nasi yang dilanjutkan nasi tim. Setelah satu tahun, makanannya seperti makanan orang dewasa. Yang jelas, makanan tersebut harus bergizi seimbang, beragam, dan bervariasi.
* Ada penyakit infeksi.
Misal, anak terkena penyakit saluran nafas. "Kuman penyakit yang ada pada anak yang menderita penyakit infeksi akan menggunakan zat besi di dalam tubuh anak untuk tumbuh dan berkembang biak. Inilah yang menyebabkan anak mudah menderita anemia defisiensi zat besi," terang Syarif.
* Gangguan penyerapan zat besi.
Penyerapan zat besi terjadi di usus. Gangguan penyerapan zat besi bisa terjadi lantaran ada penyakit di selaput lendir usus yang lama-lama menimbulkan diare, atau ada zat yang mengganggu penyerapan zat besi. Otomatis hal ini menyebabkan anemia difisiensi zat besi.
* Ada perdarahan di saluran cerna.
Hal ini bisa terjadi bila ada penyakit kelainan usus ataupun penyakit infeksi cacing tambang atau parasit lainnya. Biasanya pada daerah tertentu di mana anak bermain kotor-kotor, cacing tambang bisa masuk lewat kakinya dan menyebabkan anak mengeluarkan darah saat BAB.
GEJALA
Menurut Syarif, gradasi anemia bermacam-macam, dari yang ringan sampai berat."Anemia defisiensi besi yang ringan dan sedang, biasanya menimbulkan gejala pucat, lesu, lelah, dan pusing. Untuk anak usia sekolah, akan mempengaruhi, semisal, anak jadi kurang mampu belajar dan kurang berprestasi." Sedangkan anemia tingkat berat, akan mengganggu fungsi jantung dan menimbulkan gejala sesak nafas, berdebar-debar, bengkak di kedua kaki, hingga gagal jantung.
Bila gejala anemia berlangsung dalam jangka waktu relatif lama dapat mengakibatkan berbagai gangguan organ dan sistem pada tubuh anak, yaitu; gangguan pertumbuhan organ seperti tubuh anak tampak kecil dibanding usianya; gangguan kulit dan selaput lendir; gangguan sistem pencernaan karena berkurangnya asam lambung, hingga selaput tipis di ususnya jadi kecil-kecil atau tak berkembang (atrofi mukosa lambung); gangguan otot gerak, hingga anak cepat lelah dan lesu; gangguan sistem kekebalan tubuh, hingga anak mudah sakit; gangguan jantung, yaitu berkurangnya kemampuan jantung untuk memompa darah; dan gangguan fungsi kognitif, antara lain kurang mampu belajar dan kemampuan intelektualnya kurang.
Bahkan, jika defisiensi zat besi berlangsung lama, misal, terjadi sejak usia bayi dan tak dilakukan koreksi sampai anak usia 2 tahun, bisa menyebabkan gangguan mental. "Bila anak sampai mengalami gangguan mental, maka sifatnya akan menetap atau tak bisa diubah, meski anemianya sudah teratasi."
TIGA STADIUM
Pada stadium dini atau satu, jelas Syarif, bila anak kekurangan zat besi, maka cadangan zat besi di tubuhnya akan dipakai. Nah, karena cadangan zat besinya dipakai, otomatis lama-lama zat besinya akan habis, tapi anak belum menunjukkan gejala semisal pucat. Soalnya, masih ada cadangan zat besi di dalam darah, yaitu serum iron dan transferin. Inilah yang dipakai. Pada kondisi ini disebut stadium dua. Setelah itu, stadium tiga, barulah timbul gejala anemia seperti kadar HB-nya turun dan dalam pemeriksaan darah akan timbul gambaran sel darah merah lebih kecil dan pucat daripada yang normal.
Lama berlangsungnya dari stadium satu ke berikutnya tergantung derajat ringan-berat kekurangan zat besinya. Misal, bayi yang lahir prematur dari ibu yang kekurangan zat besi dalam darahnya, relatif berisiko kekurangan zat besi dibanding bayi normal. "Bisa dibilang, bayi ini lebih cepat kekurangan zat besinya, karena bayi prematur belum mampu menimbun zat besi dalam tubuhnya. Selain itu, dia pun butuh banyak zat besi untuk mengejar kebutuhannya, belum lagi kalau ada infeksi, misal. Jadi, banyak faktornya," papar Syarif.
PENGOBATAN
Pengobatannya pun tergantung berat-ringannya. Untuk yang ringan, terang Syarif, kekurangan zat besi bisa dikejar dengan pemberian suplementasi atau preparat besi yaitu sulfas ferosus. Pemberiannya berlangsung sampai kadar hemoglobinnya kembali normal. Namun bila sudah mengganggu seperti anak pucat sekali dan kadar HB-nya turun sampai menimbulkan gangguan jantung, misal, harus dilakukan transfusi darah.
Tentu saja, penyebab defisiensi zat besinya pun harus dicari: apakah karena pertumbuhan yang cepat, penyakit infeksi, pola makan tak tepat, atau lainnya. Bila sudah diketahui, maka penyebabnya itulah yang diatasi. Misal, akibat penyakit infeksi, maka penyakitnya diobati. Bila karena pola makan, maka pola makannya harus diperbaiki. Bila tak dicari penyebabnya dan anak hanya diberi obat-obatan, tentu anemianya akan kembali berulang.
Sebetulnya, kata Syarif, anemia termasuk penyakit ringan dan disembuhkan. Hanya saja, karena tak dideteksi dini dan tak dikoreksi bisa berdampak besar bagi tumbuh kembang anak. Padahal, sejak bayi lahir, anemia sudah bisa dideteksi. Soalnya, pada hari pertama atau ketiga setelah kelahiran, biasanya dilakukan pemeriksaan darah untuk dilihat kadar hemoglobin, bilirubin, dan golongan darahnya. Selain itu, juga bisa diprediksi dengan melihat faktor ibunya, apakah si ibu menderita anemia, kekurangan gizi hingga mempengaruhi pemberian nutrisi pada bayinya, perdarahan waktu persalinan, atau melahirkan anak kurang bulan. Bila demikian tentu anak yang dilahirkan akan berisiko untuk anemia.
Sementara pencegahan dilakukan secara holistik, dalam arti menyeluruh. Kita harus memonitor secara rutin tiap bulannya dengan melihat BB dan TB anak, melakukan imunisasi, serta melihat kondisi kesehatan anak secara umum.
Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi
Masalah sosial ekonomi, menurut Syarif, juga berpengaruh terhadap munculnya anemia. Seperti diketahui, sumber makanan yang kaya akan zat besi terdapat dalam bahan makanan hewani dan nabati, tapi yang paling bagus adalah sumber hewani. Masalahnya, bahan makanan sumber hewani relatif mahal dan tak semua orang bisa menjangkaunya. Itu sebab, pada golongan masyarakat tertentu, anemia banyak ditemui. Meski tak menutup kemungkinan kalangan ekonomi berkecukupan pun bisa mengalami anemia, semisal karena faktor infeksi atau pola makan yang salah, dan lainnya
.