Penyakit Tulang Keropos Osteoporosis Bisa Menyerang Anak Bayi - Penyakit keropos tulang yang lebih dikenal dengan istilah osteoporosis, rasanya tak asing bagi telinga kita. Hanya saja, kita lebih mengenal penyakit ini diderita para orang tua atau dewasa. Padahal, menurut
dr. Bambang Tridjaja AAP, Sp.A, MMPaed, penyakit ini pun bisa menimpa pula para remaja dan anak, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, berdasarkan pengalamannya, rata-rata pasien yang berobat usianya masih bayi atau di atas 3 bulan.
Pada anak, penyakit ini disebut dengan istilah osteogenesis imperfekta (OI) atau pembentukan tulangnya tak sempurna. Penyakit ini berisiko untuk mudah terjadi patah tulang. Kadang patahnya tak memerlukan benturan atau trauma hebat, cukup yang ringan pun bisa patah. "Jadi, kalau dibilang tulangnya lembut, tapi tanpa menimbulkan risiko patah, maka itu belum sampai pada istilah medis osteoporosis," terang dokter Subbagian Endokrinologi Anak di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUPN CM, Jakarta ini.
Nah, karena ada patah tulang itulah, maka yang sering terjadi, kebanyakan pasien berobat ke bedah tulang. Hingga kemudian penanganannya bersifat konservatif, artinya menunggu tulang itu menyambung sendiri.
Selain bersikap konservatif, pada anak juga dilakukan dengan rehabilitasi dan fisioterapi untuk melatih keterampilan geraknya supaya tetap berkembang. Lalu kalau usia anaknya sudah besar dilakukan
rodding, semacam besi penyangga untuk menopang tulangnya supaya tak mudah patah.
Walau begitu, harusnya anak juga dibawa ke bagian endokrinologi anak. "Kalau hanya ke bedah tulang, perbaikan yang dilakukannya secara fisik. Sedangkan penyakit ini, ada kaitannya dengan hormon atau bagian endokrin, di mana yang diperbaiki lebih pada proses untuk mengurangi keretakan tulang yang terjadi," jelas Bambang.
GEJALA TAMPAK SEJAK LAHIR
Sebetulnya, OI dapat diketahui sejak di kandungan. "Dari pemeriksaan USG akan tampak tulang si janin yang bengkok dan patah-patah." Hanya saja, kita tak bisa melakukan apa-apa. "Untuk dicegah dengan menggugurkannya pun tak mungkin karena usia kehamilan sudah lanjut, hingga risikonya cukup besar."
Sementara dibantu dari segi makanan, juga tak bisa, karena penyebab penyakit ini adalah masalah genetik, yaitu kemungkinan ada mutasi gen baru pada anak. "Gen tersebut diturunkan dari kedua orang tuanya. Jadi, bukan karena masalah kekurangan kalsium seperti yang diduga banyak orang." Dengan demikian, tak ada tindak pencegahannya untuk janin dengan penyakit ini.
Setelah lahir, gejalanya tampak lebih jelas lagi. Bentuk tubuh si bayi tak mulus lurus, tapi bengkok-bengkok, anggota gerak cenderung melengkung. Si bayi pun tampak diam, tak banyak bergerak. Namun ia akan rewel dan sering menangis. "Mungkin karena patah tulang dan rasanya nyeri serta sakit."
Selain itu, kepalanya tampak agak besar sementara tubuhnya kecil karena tulangnya bengkok-bengkok dan rata-rata asupan gizinya kurang. Sebagian besar pertumbuhan tinggi badannya pun tak cepat alias anak jadi pendek.
Untuk memastikan penyakitnya, perlu dilakukan pemeriksaan, baik laboratorium maupun rontgen. "Terutama pemeriksaan rontgen, yang bertujuan untuk melihat seberapa jauh kerusakan atau kekeroposan yang terjadi." Pemeriksaan rontgen dicoba 3 atau 6 bulan sekali untuk melihat efek patahnya. "Sebab, kadang ada patah yang mereka tak rasakan karena sudah terbiasa, ada juga patah baru."
RINGAN SAMPAI BERAT
Menurut Bambang, derajat ringan-berat penyakit ini diklasifikasikan menurut tipe, yaitu dari tipe 1-4. Bahkan sekarang ada tipe 6. Dari tipe-tipenya ini dapat diketahui, apakah penyakit ini bisa ditolong atau tidak. "Orang tua biasanya tak begitu bisa membedakan tipe-tipe ini karena semua gejalanya sama, yaitu ada patah tulang." Karena itu harus didiagnosis oleh orang yang benar-benar ahli dalam menangani kasus ini, yaitu dokter bedah tulang atau dokter radiologi (rontgen).
Tipe satu, penyakitnya agak ringan. "Mungkin tulangnya hanya bengkok-bengkok saja, tapi kerusakannya tidak luas." Tipe dua, tipe inilah yang paling mematikan alias harapan hidupnya setelah lahir tak lama. Mengapa demikian? Sebab, bengkok-bengkok tulangnya atau kerusakannya terlalu luas, bisa seluruh badan, sehingga gangguan yang terjadi pun sangat hebat. Misal, karena pembentukan tulangnya tak beres, hingga mungkin saja tulang dadanya tak berkembang bagus. Akibatnya, sulit bagi anak untuk bernapas. Sementara tipe 3 dan 4, bengkok tulangnya memang agak hebat, tapi tak begitu luas, hingga si anak bisa hidup alias bisa ditolong.
PENGOBATAN DENGAN SUNTIKAN
Adapun pengobatan dilakukan dengan pemberian obat-obatan anti osteoporosis secara suntikan. Cara pemberiannya melalui infus yang makan waktu sekitar 6 jam. Pengobatan ini dilakukan 3 bulan sekali atau setiap 2 bulan, tergantung kondisi anak. "Obat ini dipakai pula di beberapa negara, seperti Inggris, Australia, Kanada, dan negara lainnya," ungkap Bambang.
Efek samping obat ini biasanya terjadi pada suntikan pertama, yaitu berupa badan jadi panas. Untuk mengatasinya, bisa diberikan obat penurun panas. Sementara pemberian obat dengan cara diminum yang juga ada, sering menimbulkan efek samping berupa sakit perut dan mulas, hingga jarang digunakan.
Yang jelas, pengobatan ini cukup memberikan hasil yang bagus. Angka kejadian patah tulang bisa ditekan. Selain itu, karena rasa sakit dan nyeri bisa diobati, anak pun jadi tak rewel lagi. Perkembangan lainnya pun, terutama motorik kasarnya makin berkembang. Misal, anak yang tadinya tak mau duduk atau berdiri, kini mau duduk dan berdiri. "Anak makin aktif dan tak takut untuk bergerak lagi karena rasa nyeri dan sakit di tubuhnya hilang." Sementara sebelum menjalani pengobatan, sering anak jadi takut bergerak karena rasa nyeri dan sakit yang dideritanya.
"Tentunya untuk sampai pada perkembangan ini harus pula dibantu dengan pelatihan fisioterapi." Sementara dari segi makanan, misal, dengan menambah kalsium, menurut Bambang, tak membantu.
EFEK PENGOBATAN
Ibarat bangunan, pengobatan yang dilakukan sebenarnya seperti semen, yaitu untuk menguatkan kerangka bangunan. Jadi, dengan pengobatan ini, papar Bambang, kerangka tulang dikuatkan agar anak bisa bergerak dan menopang tubuhnya dengan lebih kuat, tanpa mudah patah. Juga, agar bengkok tulangnya jadi jauh berkurang. Selain itu, tinggi tubuhnya pun bisa mendekati normal.
"Pengobatan ini di luar negeri juga dilakukan pada usia remaja. Hasilnya cukup bagus. Bahkan, pengobatannya ada yang berlangsung sampai 3-4 tahun untuk mengharapkan efek yang cukup panjang." Untuk pengobatan 1-2 tahun saja, kemungkinan efeknya bisa 5-6 tahun ke depan atau mungkin saja bisa sampai 10 tahun. Namun demikian, "itu baru percobaan-percobaan kecil yang belum bisa dipastikan, apakah hasilnya baik atau tidak untuk mempertahankan keutuhan tulang secara jangka panjang."
Jadi, lama pengobatan sampai kini belum tercapai kesepakatan di antara para ahli. "Karena pengobatannya relatif baru dan masih menunggu efeknya." Itu sebab, untuk dilihat efeknya, rencana di Indonesia pengobatan dicoba selama 2 tahun dulu. "Setidaknya, dengan waktu pengobatan itu diperkirakan selama 5-6 tahun ke depan, tulang dapat menopang dan tak terjadi fraktur atau patah."
Terang Bambang pula, penyakit ini ada yang menetap sampai dewasa. "Jadi, bengkok tulangnya akan diderita seumur hidup. Ada juga yang membaik gejalanya alias tak sampai menjelang tua mengalami pembengkokannya."
Biasanya anak yang menderita penyakit ini akan diminta untuk kontrol tetap minimal setahun sekali. Dengan cara ini, bila ada informasi mengenai pengobatan terbaru, pasien dapat segera mengetahuinya.
Yang jelas, seperti halnya anak normal, anak harus dijaga baik agar tak terjatuh ataupun terbentur. Hanya saja pada anak dengan penyakit ini, penjagaannya harus ekstra keras. Pasalnya, meski terbentur ringan saja, tulangnya bisa patah
.