Snack Kue Krim Biskuit Berkrim Picu Sakit Jantung pada Anak - Umumnya, anak-anak suka sekali biskuit berlapis krim. Selain rasanya yang manis atau gurih, kelembutan dan kelezatan aromanya membuat mereka tak mau berhenti
ngemil. Asal tahu saja, rasa lembut itu berasal dari lemak semi padat berupa
trans unsaturated fatty acid atau TFA. Pun, hampir semua bahan makanan dan makanan hasil olahan industri, seperti minyak goreng, margarin, mi instan, makanan siap saji, dan aneka
pastry, menggunakan bahan TFA ini.
Mungkin, belum banyak yang tahu bahwa TFA merupakan salah satu bentuk dari asam lemak tidak jenuh. Selama ini kita mengenal lemak dalam dua jenis, yaitu lemak jenuh dan tak jenuh. Lemak jenuh dianggap kurang sehat karena bisa meningkatkan kadar kolesterol LDL
(low density lipoprotein) atau kolesterol jahat dalam darah. Sebaliknya, lemak tak jenuh dianggap lebih aman.
Pendapat mengenai sifat aman lemak tak jenuh itu, menurut
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., tidak sepenuhnya benar. Lebih jauh ia menjelaskan, secara molekuler lemak tak jenuh ini bisa berwujud dalam dua bentuk, yaitu lemak tidak jenuh cis dan trans. Nah, sifat asam lemak trans atau TFA ini disinyalir sama buruknya dengan lemak jenuh, bahkan bisa lebih buruk.
Akibat sinyalemen itu, kini asam lemak trans mendapat sorotan di beberapa negara, baik Amerika Serikat maupun Malaysia. Bahkan beberapa pakar di Amerika menyebutkan, TFA lebih buruk daripada asam lemak jenuh.
RISIKO KEBANYAKAN TFA
Menurut hasil penelitian 2 tahun terakhir, TFA yang dikonsumsi berlebihan secara terus-menerus bisa menyebabkan kadar kolesterol jahat atau di dalam darah meningkat tajam, sekaligus menurunkan kadar
high density lipoprotein (HDL) atau kolesterol baik. "Dampak buruknya pada kesehatan, tidak saja berupa peningkatan risiko penyakit jantung koroner, tetapi juga kanker, diabetes, dan tekanan darah tinggi."
Hanya saja perlu dipahami, meningkatkan risiko tidak berarti secara otomatis menyebabkan penyakit. "Jadi, tidak semua orang yang kerap mengonsumsi TFA pasti terkena sakit jantung. Hanya risikonya jadi besar." Dampak itu pun, lanjut Purwiyatno, tidak akan langsung terbukti. Bisa setahun, dua tahun, bahkan mungkin 10 tahun kemudian, tergantung pada kondisi kesehatan dan pola hidup yang bersangkutan.
MENGENALI MAKANAN BER-TFA
Biasanya pada kemasan makanan yang mengandung TFA, dalam komposisinya tertulis:
unsaturated trans, trans fatty acid, trans oil, hydrogenated oil, partially hydrogenated oil, atau
hydrogenated soybeans oil. Memang, seperti diakui Purwiyatno, tidak sedikit produsen yang tidak mencantumkan kadar TFA dalam setiap produknya. Jadi, pelabelan akurasi komposisi sangat membutuhkan kerjasama yang baik dari pihak produsen.
"Terlebih, secara kasat mata makanan yang mengandung TFA dan yang tidak, sulit dibedakan dari fisiknya. Jadi, kita tidak bisa memvonis apakah makanan berkrim lembut atau yang rasanya gurih dan lezat pasti mengandung TFA atau tidak," ujarnya.
"Kita hanya bisa mencurigai jika makanan itu mengandung lemak, dan bahwa lemak itu cukup membahayakan. Namun, sampai sekarang justru pernyataan nonkolesterol dan pengaruh positif lemak tak jenuhlah yang sering ditonjolkan pada produk makanan. Padahal jauh lebih berarti jika di situ dicantumkan kandungan TFA. Mungkin sudah saatnya instansi kesehatan mempertimbangkan keberadaan dan kadar TFA di dalam produk makanan ini. Bagaimanapun, kandungan komposisi TFA hanya bisa diketahui dari uji laboratorium dengan tenaga ahli penguji yang khusus pula."
SEDIKIT BOLEH SAJA
Sebenarnya, meski TFA disinyalir cukup berbahaya, bukan berarti makanan yang mengandung TFA haram sama sekali dikonsumsi. "Yang penting, tidak secara berlebihan," anjurnya. Lantas seberapa banyak TFA bisa dikonsumsi?
Ketua Jurusan Teknologi Pangan & Gizi, Fak. Teknologi Pertanian, IPB ini memberi patokan, untuk orang dewasa misalnya, yang kebutuhan kalorinya mencapai 2000 kkal per hari, maka konsumsi lemak yang dianjurkan per harinya adalah 30% atau sekitar 660 kkal atau sekitar 73 gram (1 gram lemak = 9 kkal). Nah dari 73 gram ini, TFA aman dikonsumsi jika kadarnya tidak lebih dari 30%, yaitu sekitar 198 kkal atau 21 gram.
Bila lebih dari itu, TFA biasanya akan menaikkan kadar kolesterol darah hingga di atas normal (150-200 mg/100 ml). "Buat anak tentu jumlahnya lebih kecil lagi, karena asupan kalori setiap harinya di bawah 2000 kilo kalori, tergantung umur, berat, dan tinggi badannya."
Yang harus diwaspadai justru kesukaan anak pada makanan jenis
snack tertentu, sampai-sampai tidak bisa direm atau dicegah. "Nah, jika sudah demikian, apakah orang tua bisa menghitung asupan lemak pada tiap makanan yang dikonsumsi anak?"
MENGHINDARI TFA
Tidak ada jalan lain, kalau mau aman orang tua harus melakukan tindakan pencegahan. Ganti snack anak dengan makanan lain yang tak mengandung TFA. "Kan, banyak makanan lain yang cukup lezat, atau bikin sendiri camilan yang sehat buat anak," katanya. "Beruntung, jarang sekali TFA ditemukan dalam bahan makanan alami. Jika pun ada, kadarnya sangat sedikit, seperti kadar TFA pada susu sapi, sehingga tak perlu dikhawatirkan."
Bisa juga saat hendak membeli makanan apa pun yang mengandung lemak, teliti dahulu apakah makanan tersebut mengandung TFA atau tidak. "Lihatlah terlebih dahulu label yang berisi komposisi makanan tersebut.
Aktivitas fisik atau berolahraga secara teratur juga meminimalkan dampak negatif TFA. Olahraga bisa meningkatkan metabolisme tubuh secara menyeluruh, juga meningkatkan serta memperlancarkan peredaran darah pada seluruh tubuh. "Aktivitas fisik akan membakar lemak dan kolesterol dalam tubuh, sehingga dampak negatif TFA pun bisa diminimalisir," demikian Purwiyatno.
Asal Usul Dan Kegunaan TFA
Kadar TFA yang tinggi didapat dari hasil pengolahan hidrogen (hidrogenasi) terhadap lemak alami. Contohnya bahan-bahan lemak alami, seperti minyak sayur, minyak kedelai, atau minyak jagung yang dimasukkan ke tabung, lalu dibakar dalam suhu tinggi dengan menggunakan zat hidrogen (H2).
Hanya saja, seringkali proses hidrogenasi (proses penjenuhan) ini terjadi setengah jalan
(partial hydrogenated), atau prosesnya tidak sampai 100%, hanya sekitar 50-70%. Tujuannya, agar lemak yang awalnya cair bisa berbentuk semi padat. Jika proses hidrogenasi itu mencapai 100%, maka lemak tersebut akan memadat dan menjadi sangat keras. Nah, proses setengah jalan inilah yang menyebabkan proses hidrogenasi menghasilkan lemak TFA.
Dengan hidrogenasi, maka lemak yang awalnya berbentuk cair bisa menjadi semi padat, sehingga mudah digunakan untuk macam-macam keperluan. Jika tidak dibentuk seperti itu, asam lemak tak jenuh alami ini akan mudah rusak.
Disamping itu, hidrogenasi juga membuat asam lemak tak jenuh menjadi tahan panas. Minyak goreng TFA, misalnya, lebih tahan panas jika digoreng. "Keberadaan TFA di dalam lemak terhidrogenasi di dalam minyak goreng dianggap menguntungkan karena mempunyai titik leleh yang lebih tinggi, sama dengan titik leleh asam lemak jenuh," tutur Purwiyatno lebih lanjut.
Seperti sudah disinggung di atas, proses ini juga membuat lemak menjadi awet dan tidak gampang tengik. Itulah mengapa para produsen makanan memilih penggunaan TFA, karena produk-produk makanannya akan tahan lebih lama. Hal ini jelas sangat menguntungkan pemasaran produk makanan. Belum lagi, seperti diakui Purwiyatno, "Krim semi padat sangat disukai anak-anak, apalagi jika ditambahkan pemanis dan pengharum makanan, walaupun sebenarnya TFA dibuat bukan untuk melezatkan makanan, melainkan untuk mengubah bentuk lemak yang tadinya cair menjadi semi padat."
Ia juga mengatakan, proses hidrogenasi sudah dikenal lama para produsen makanan di Eropa dan Amerika. Namun, penelitian tentang dampak TFA baru dilakukan tahun-tahun belakangan ini. Soalnya, beberapa tahun lalu orang beranggapan semua lemak tak jenuh aman dikonsumsi. Kini anggapan tersebut telah berubah
.