Waspada Kebiasaan Anak Suka Ngempeng Ngedot Mengisap Jempol Tangan - Bukan pemandangan asing lagi bila kita menyaksikan seorang anak kecil asyik mengisap jempol tangannya, sambil memilin-milin ujung selimut kala ia hendak berangkat tidur. Atau melihatnya tak bisa melepaskan dot kosong di mulutnya sementara kedua tangannya aktif menyusun balok-balok kayu. Begitu juga si kecil yang amat lengket dengan guling "bau"nya atau boneka "busuk"nya. Orang tua pun jadi malu sekaligus cemas, takut kalau-kalau kebiasaan buruk itu bakal keterusan hingga ia besar. Dan karena khawatir, kebiasaan si anak distop secara drastis.
Kembali ke soal
ngempeng, secara harafiah
ngempeng sebetulnya berarti mengisap dot kosong tanpa susu. "Namun kadang pengertian ini dirancukan juga dengan kebiasaan mengisap benda-benda lain. Seperti mengisap jempol
(thumb sucking), mengisap ujung bantal atau pilinan selimut," tutur Dra. Ike Anggraika, M.Si. Hal ini lantaran ngempeng maupun mengisap jempol biasanya diikuti pula dengan kebiasaan memilin-milin selimut, mengisap pinggiran bantal, ataupun mendekap boneka dekilnya.
REFLEKS ISAP
Menurut dosen Psikologi Perkembangan pada Fakultas Psikologi UI ini, ngempeng berawal dari kebiasaan sejak bayi yang terus dibawa hingga besar, mengingat refleks yang muncul di awal kehidupan bayi adalah refleks mengisap. Entah mengisap ASI maupun mengisap susu dari botol.
"Saat menyusu, bayi merasa nyaman karena berada dekat dada ibunya. Dekat dengan bunyi detak jantung ibunya yang selalu didengarnya saat ia masih berada di kandungan. Nah, detak jantung ini membuatnya nyaman," terang Ike.
Setelah anak berhenti menyusu dari ibunya, rasa nyaman itu akhirnya disubstansikan dengan cara mengisap. Entah mengisap jempol, dot kosong, ujung selimut atau bantalnya. Selain itu,
ngempeng juga berawal dari kebiasaan memasukkan semua benda ke dalam mulut ketika bayi usia 7 atau 8 bulan.
BATAS WAJAR
Ngempeng, menurut Ike, masih bisa dikatakan wajar sepanjang anak berusia 1-2 tahun. "Karena seusia ini ia memang masih menyusu botol atau ASI. Kalaupun di siang hari ia sudah mulai dilatih minum susu dari gelas, tapi malam hari tetap saja harus menyusu dari botol," terang psikolog yang juga aktif di Lembaga Psikologi Terapan UI ini.
Kendati wajar, Ike mengingatkan, tak ada salahnya bila orang tua berhati-hati, jangan sampai kebiasaan itu berlanjut hingga si anak besar nanti. Soalnya tak jarang ada orang tua yang mendorong kebiasaan ini. "Misalnya, agar anaknya tidak menangis, maka mulutnya dijejali dengan empeng atau dot kosong. Lama-lama ini akan jadi kebiasaan," ujarnya.
Karena itu Ike menganjurkan, sebaiknya
ngempeng sudah bisa dihentikan kala si kecil menginjak usia 3 tahun. Pada umur ini, tutur Ike, anak seharusnya sudah mulai banyak bermain di luar lingkungan rumah. Nah, jika ia masih terus ngempeng, maka perilakunya ini bisa mengganggu perkembangan sosialnya. Misalnya, ia diejek oleh teman-temannya.
BERIKAN RASA AMAN
Dari pengamatan Ike,
ngempeng biasanya lebih sering terjadi pada anak pendiam dan pemalu. "Kalau ada temannya main, ia tak bisa secara spontan langsung ikut bergabung. Beda dengan anak yang aktif dan periang. Melihat temannya main, ia langsung berteriak, 'Aku ikut, dong.' Anak-anak yang aktif dan periang ini biasanya juga punya banyak kegiatan, sehingga tak sempat lagi untuk mengisap jempolnya atau benda-benda lain," tuturnya.
Kebiasaan
ngempeng muncul karena anak kurang percaya diri, merasa tak aman, atau kurang diperhatikan orang tuanya. "Ada sesuatu yang tidak mengenakkan dirinya, sehingga ia mencari perasaan aman lewat cara mengisap jempolnya, memilin-milin selimut, mengisap ujung bantal, atau mendekap bonekanya," tutur Ike.
Karena itulah mengapa kecenderungan
ngempeng sangat kuat terlihat kala si kecil merasa lapar, mengantuk, takut, atau tengah memerlukan sesuatu yang menyenangkan (karena tak ada kegiatan). Pendek kata, sesuatu yang dapat membuat ia merasa aman dan menenangkannya.
Kendati begitu, rasa aman seorang anak biasanya lebih terkait dengan perasaan dicintai dan disayangi. Makanya Ike meminta orang tua agar jangan terlalu pelit untuk mengungkapkan rasa sayangnya. Bisa dengan ungkapan verbal atau kata-kata maupun dalam bentuk tindakan seperti belaian, pelukan atau ciuman. "Jadi, anak merasa dilindungi, dipenuhi kebutuhannya secara psikis, dan tak perlu ada yang ditakutkannya." Anak pun tak merasa perlu untuk mencari "pegangan" dari benda-benda lain.
GARA-GARA IBU BEKERJA
Konon, ibu bekerja memberikan andil pada kebiasaan "buruk" si kecil ini. Benarkah? "Sebenarnya, sih, tak ada hubungan antara ibu yang bekerja dengan kebiasaan buruk ini. Memang, pada ibu bekerja, kebanyakan anaknya menyusu dari dot, sehingga kebiasaan ini berlanjut dengan mengempeng," terang Ike.
Namun begitu, lanjut Ike, tak berarti karena ibu bekerja maka anaknya lantas jadi ngempeng. "Kebiasaan ini lebih terkait pada rasa aman si anak, kok," tukasnya. Jika ibu bekerja bisa memberikan rasa aman pada anaknya, bisa membagi waktu, tentunya tak akan menjadi masalah.
Untuk itu, anjur Ike, ibu bekerja harus meningkatkan komunikasinya dengan si anak. "Jangan sampai kuantitas pertemuan dengan anak sangat sedikit, komunikasinya juga enggak lancar," katanya. Setidaknya, sering-seringlah menelepon si kecil, menanyakan kegiatannya. Dengan demikian anak akan merasa aman walau ibunya tak berada di dekatnya.
TANDA-TANDA RASA AMAN
Lantas, bagaimana kita bisa tahu kalau si kecil merasa aman atau tidak? Menurut Ike, seorang anak yang merasa aman tak akan susah kala berpisah dari ibunya. Misalnya waktu ibunya hendak berangkat kerja, ia tak menangis ingin ikut.
Begitu pula saat menghadapi suasana baru, si kecil bisa menyesuaikan diri dengan mudah. Ia tak bersembunyi di balik rok ibunya. Kalau di dalam rumah, ia berani pergi ke ruangan lain sendirian. Misalnya ke kamar mandi sendirian, tidur di kamar sendirian, dan lainnya. Ia juga lebih percaya diri, merasa mampu dan mandiri.
"Jika anak merasa tak aman, ini akan terlihat dari kuatnya perasaan
dependent atau ketergantungannya," kata Ike. Dampak psikologis inilah yang sebaiknya diwaspadai orang tua. Karena bila hal ini berlanjut terus, kepribadian anak bisa terganggu. "Ia akan menjadi manusia yang serba ketakutan dan tak mandiri," sambungnya.
SESUAIKAN USIA
Agar
ngempeng tak berlanjut hingga anak besar, Ike menganjurkan agar dilakukan pencegahan sedini mungkin. Untuk itu diperlukan kerja sama yang baik dengan seisi rumah, baik dengan kakek-nenek yang tinggal serumah maupun pengasuh anak. "Jangan sampai, ibu melarang tapi oleh si pengasuh dibiarkan. Anak akan bingung. Kalau seisi rumah satu suara, motivasi anak untuk menghentikan kebiasaan buruknya itu akan tumbuh."
Untuk menerapkannya, pertimbangkan pula usia anak. Bila usianya masih 1-2 tahun, setiap saat ia mulai mengisap-isap jempolnya, keluarkan jarinya dari mulutnya. Begitu juga benda-benda lainnya. Cermati pula kebiasaan si kecil. Bila setiap mengantuk ia punya kecenderungan
ngempeng, dampingilah saat ia hendak tidur. Dongengkan ia sambil memintanya memegang buku sehingga tak ada kesempatan baginya untuk memasukkan jarinya ke mulut. Ia pun bisa tidur tanpa harus mengisap jempolnya.
Untuk anak usia 3 tahun, Ike menyarankan orang tua memberi anak kegiatan yang akan menyibukkan tangannya. Saat melihat si kecil bengong di depan TV, misalnya, jangan biarkan ia iseng dengan mengisap jempolnya atau mengempeng. Sibukkan ia dengan kegiatan seperti menggambar, mewarnai, menggunting, melipat, dan sebagainya.
Bila si kecil sudah bisa diajak bicara, jelaskan padanya, mengapa ia tak boleh melakukan kebiasaan buruknya itu. Misalnya pertumbuhan gigi dan rahangnya bisa terganggu, atau karena selimut dekil miliknya itu banyak kutunya, dan sebagainya. Dengan demikian ia bisa menerima alasan pelarangan itu dan punya motivasi untuk mengubahnya.
Untuk anak usia prasekolah atau yang sudah sekolah, bisa diminta mengontrol sendiri kebiasaannya. Sebab, anak usia ini umumnya sudah mampu mengontrol dirinya. Misalnya, setiap kali keinginan mengisap jempolnya muncul, minta agar ia menjauhkan tangannya dengan cara mendudukinya. Atau, cari teman mengobrol dan bermain bersama.
Bagaimana dengan cara tradisional semisal mengolesi tangan si anak dengan getah tanaman brotowali yang pahit? "Cara ini kurang efektif, karena anak zaman sekarang sudah lebih pintar. Ia bisa mencuci jarinya atau pindah ke jari lain. Cara yang efektif, ya, dengan memberinya kegiatan yang menyibukkan tangannya," tutur Ike.
BERIKAN KEGIATAN
Selain cara-cara di atas, lanjut Ike, yang paling utama adalah koreksi diri dengan memberi rasa aman pada anak. Sebab, meski orang tua sudah mencoba memberikan hal yang terbaik untuk anak, namun si anak dalam perkembangannya tetap akan menemukan kendala-kendala yang bisa membuatnya stres.
Misalnya saat ia mulai harus bersosialisasi di luar dengan teman-teman sebayanya, banyak hal yang bisa membuat dirinya tidak nyaman. Entah itu berupa teman-temannya yang ternyata lebih pandai dari dia atau lebih agresif darinya, sehingga ia merasa insecure. Nah, ini bisa terjadi pada setiap tahap perkembangannya. Orang tua harus mewaspadainya.
Selain itu, orang tua juga harus kreatif. Jika anak sedang bengong sendirian, beri kesempatan ia berada dalam lingkungan teman sebayanya. Orang tua pun sebaiknya menyediakan banyak mainan kreatif, sehingga anak tak punya kesempatan untuk bengong atau mengempeng.
JIKA KAMBUH
Setelah kebiasaan
ngempeng bisa dihilangkan, kemungkinan kambuh lagi bisa terjadi. Jika hal ini terjadi, orang tua harus mencari tahu penyebabnya. Apakah di rumah mendadak semua orang sibuk sehingga si kecil kurang perhatian? Apakah di rumah kedatangan tamu, entah nenek atau kakek? Atau,
babysitter-nya diganti? Bisa juga karena di lingkungan bermain ada teman baru.
Kambuhnya kebiasaan
ngempeng, menurut Ike, biasanya berkaitan dengan munculnya stres baru, yang lalu membuatnya lari pada kebiasaan lama yang memberinya rasa aman. "Minimalkan stres anak. Tentunya untuk menghilangkan stres tak mungkin, karena dalam perkembangannya, pasti anak akan menjumpai stres-stres baru." Alangkah baiknya bila orang tua juga membina kepribadiannya agar tahan terhadap stres.
Bila si kecil benar-benar sudah bisa menghilangkan kebiasaan
ngempeng, janganlah pelit memberikan
rewards, baik berupa pujian maupun dorongan semangat, "Kamu pasti bisa." Bila ada temannya yang nakal, misalnya, besarkan hatinya, "Enggak apa-apa, kok. Memang berteman harus begitu." Atau, "Kenapa kamu enggak mencari teman lain saja?"
Tapi jangan menerapkan hukuman dalam hal ini. Ike sangat tak setuju. "Anak yang
insecure, jika dimarahi atau dihukum, malah akan semakin takut. Bisa jadi
ngempengnya akan semakin menjadi-jadi," terangnya. Lebih baik dorong terus agar ia bisa menghentikan kebiasaannya dan berilah pujian
.