Tics Gangguan Saraf pada Otak Muncul Gerakan di Luar Kendali Anak -
Tics, terang dr. Dwijo Saputro, Sp.KJ, merupakan gangguan mental yang disebabkan gangguan saraf pada otak. Akibat gangguan tersebut, terjadi kontraksi atau regangan pada sekelompok otot sehingga timbullah gerakan-gerakan tak diinginkan. "Gerakan-gerakan itu akan berulang di luar perintah otak. Jadi, gerakan-gerakan tersebut tak bisa dikendalikan oleh si penderita."
Namun, apa yang menyebabkan sekelompok otot tersebut mengalami kontraksi, menurut Dwijo, sampai kini belum diketahui pasti karena belum ada penelitian ke arah itu. "Tapi bisa saja karena perkembangan otak di masa tertentu mengalami masalah, terutama saat masih balita dimana perkembangan otak sedang pesat-pesatnya," terang psikiater anak ini.
Biasanya, kumpulan otot yang terkena adalah kumpulan yang kecil. Itulah mengapa,
tics umumnya terdapat di wajah; entah di kelopak mata, sudut mulut, dan sebagainya. Bukan berarti
tics tak bisa menyangkut kumpulan otot yang lebih besar atau lebih kompleks, lo. "Ada juga
tics yang berupa gerakan tangan terus-menerus dan bahkan kadang disertai otot-otot yang mengatur suara atau bicara."
Tics semacam ini dikenal sebagai penyakit
tourrete , yaitu
tics yang menyangkut lebih banyak otot sehingga gerakannya pun lebih banyak dan disertai desahan-desahan suara; entah suara dengusan, suara keras, ataupun lembut. Umumnya,
tics kerap terjadi pada anak, terutama anak usia sekolah. Walaupun ada juga yang terjadi lebih awal, yaitu di usia prasekolah. "Bukankah di usia 2-5 tahun adalah masa kritis pertama bagi anak-anak, sehingga bisa saja
tics sudah muncul di usia ini?" Anehnya,
tics lebih sering menimpa anak lelaki, namun apa penyebabnya, hingga kini belum ada satu pun penelitian yang berhasil mengungkapkannya.
MUNCUL PADA SAAT STRES
Kendati disebabkan oleh faktor fisik, namun bukan berarti
tics akan muncul terus-menerus. "Kalau tak ada pemicu dari luar,
tics tak akan muncul," kata
dra. SZ Enny Hanum yang ditemui pada kesempatan terpisah. Maksudnya, bila anak dalam keadaan tertekan atau stres, maka
tics-nya bisa muncul.
Tapi kalau ia enggak stres, maka sebenarnya ia bisa mengendalikan
tics-nya. Atau, "bila ia mampu meng-
handle stresnya, maka
tics-nya tak akan terpicu," ujar Dwijo. Jadi, tergantung juga pada kemampuan anak mengatasi stres. Sayangnya, anak yang mengalami
tics biasanya lebih sering mengalami stres. Pasalnya, anak
tics sering merasa minder dan dijadikan bahan olok-olok. Terlebih lagi bila
tics-nya disertai desahan-desahan suara, bukankah akan menjadi semakin menarik perhatian orang, "Kok, aneh anak ini; sambil bergerak-gerak, kok, bersuara?"
Padahal, dengan anak semakin merasa minder, perasaannya pun semakin tertekan, sehingga
tics-nya juga semakin hebat terjadi. Nah, agar
tics-nya tak sering muncul, orang tua seyogyanya
care terhadap segala masalah yang dihadapi anak. "Orang tua harus jeli dengan faktor pemicunya, dalam situasi bagaimana
tics kerap muncul," kata Enny. Bukankah anak tak bisa mengungkapkan dirinya secara penuh? Ia tak bisa mengatakan bahwa dirinya sedang merasa tak nyaman, misalnya. "Jadi, orang tua harus benar-benar jeli menelusuri penyebabnya."
Menurut Enny, dengan orang tua tanggap terhadap kelainan anak, maka anak akan merasa, orang tuanya sudah satu
front dengannya bahwa ayah dan ibu menerima dia secara penuh apa adanya. Dengan demikian, anak akan merasa dirinya nyaman. "Jangan lupa, orang tua dan keluarga adalah tempat anak bernaung dan berlindung; pelabuhan bagi anak untuk merasa aman. Apapun yang dihadapi di luar, tapi kalau di dalam rumahnya ia merasa aman, maka ia akan merasa kuat." Jangan orang tua malah sedikit-sedikit berkomentar,
"Ngapain, sih, kamu, sebentar-sebentar, kok, kedip-kedip begitu?" Tentu anak tak akan pernah bisa menjawabnya karena ia sendiri pun tak tahu. Justru hanya akan membuat anak semakin merasa terpojok, yang berarti semakin menambah stresnya. Bukan tak mungkin penyebab stresnya pun jadi bertambah. Kalau biasanya
tics muncul kala ia sedang bikin PR, maka sekarang kalau berada di dekat orang tuanya pun ia bisa stres. Kan, malah jadi lebih repot.
OBAT ANTI
TICS
Disamping itu, anak pun perlu diobati dengan obat anti tics agar gerakan-gerakan ototnya makin berkurang dan akhirnya hilang, sehingga tak terjadi peregangan lagi. Namun lamanya pengobatan sangat tergantung dari kemampuan anak dalam mengatasi stresnya. "Ada yang seminggu sudah baik, tapi ada juga yang sudah diobati hingga 5 bulan pun tak kunjung membaik," kata Dwijo.
Jadi, tandas pendiri dan pemilik Klinik Perkembangan Anak dan Kesulitan Belajar, Jakarta, ini, tingkat kesembuhannya tak bisa dilepaskan dari kemampuan si anak dalam mengatasi hal-hal yang memperburuk
tics-nya. "Penyakit mental itu, kan, enggak seperti penyakit tipus yang kalau diobati penyakitnya lantas sembuh. Penyakit mental sangat berkaitan dengan banyak faktor, sehingga penanganannya pun harus komprehensif dan terpadu." Bahkan, berdasarkan pengamatan Dwijo,
tics biasanya tak berdiri tunggal sebagai penyakit.
"Delapan puluh persennya pasti juga mengalami gangguan hiperaktif atau hiperkinetik ataupun gangguan pemusatan perhatian. Jadi, pengobatannya pun sangat kompleks." Itulah mengapa, selain terapi obat, juga perlu dilakukan terapi perilaku dan psikoterapi buat anak. Bahkan juga, terapi keluarga buat orang tuanya. Penting diketahui, bila
tics tak diobati, bukan hanya akan tambah menghebat, tapi juga bisa menetap hingga si anak dewasa kelak.
BEKERJA SAMA DENGAN GURU
Selama proses penyembuhan yang bisa memakan waktu tak sebentar ini, menurut
Enny Hanum , orang tua juga perlu menjalin kerja sama dengan guru dan teman-teman si anak. "Orang tua bisa meminta si guru agar selalu mengingatkan jika
tics-nya muncul." Sebaiknya si guru pun diberi tahu agar mengingatkannya dengan cara yang tak menarik perhatian anak lain sehingga anak merasa aman. Selain dengan guru, kerja sama juga perlu dilakukan dengan teman-teman anak. Orang tua bisa mengatakan, misalnya, "Toni memang punya kebiasaan yang lain dari kalian, tapi itu jangan diledek, ya. Bukankah kalian pun punya kebiasaan yang berbeda pula? Seperti Anda yang punya kebiasaan mengisap jempol, Mira yang suka mainan air, atau Joko yang suka mengorek-korek hidung. Sama saja, kan?" Jadi, tanamkan pada anak-anak bahwa ada hal-hal yang tak secara rutin dilakukan, tapi pasti ada pada setiap anak. Dengan demikian, mereka tak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang aneh lagi.
INGATKAN ANAK UNTUK MENAHAN TICS-NYA
Anak yang mengalami
tics sering terganggu sosialisasinya. Misalnya, kerap jadi bahan olok-olok teman-temannya. Akibatnya, ia pun jadi tambah stres sehingga
tics-nya juga biasanya tambah menghebat. Oleh karena itu, ujar
Enny Hanum, anak perlu dikuatkan. "Berilah pengertian bahwa ia memang punya kebiasaan berbeda dengan teman-temannya, tapi kebiasaan itu bukan penyakit. Artinya, bisa hilang asalkan diobati."
Ia pun perlu dijelaskan bahwa dirinya normal, sama dengan anak-anak lainnya. Artinya, tidak cacat apa pun. Katakan pula, "Kebiasaanmu itu memang membuat kamu lain dari teman-temanmu, tapi teman-temanmu punya kebiasaan juga, kok. Coba, deh, cari, ada, kan, temanmu yang masih suka mengompol, mengisap jarinya, menarik-narik rambut, dan sebagainya?" Dengan diberi penguat bahwa dirinya bukan makhluk aneh, anak pun akan berkurang rasa mindernya. Selanjutnya, dorong ia untuk menghilangkan kebiasaan tersebut.
"Nah, karena kebiasaan itu berbeda, sebaiknya kamu hilangkan kebiasaan itu sehingga kamu tak jadi ledekan teman-temanmu lagi." Caranya, alihkan perhatian anak. "Saat anggota tubuhnya mulai bergerak-gerak, misalnya, segera perhatiannya difokuskan pada sesuatu yang berbeda." Bisa juga dengan mengingatkan anak agar menahan gerakan-gerakan tersebut. Misalnya, "Matanya dipegang, Nak, supaya jangan bergerak-gerak." Tapi mengingatkannya jangan dengan cara yang "heboh", lo, karena hanya akan membuat anak jadi tambah tegang.
"Kalau diingatkan dengan baik, anak pasti akan berusaha menahan gerakan-gerakannya." Kemudian, bila anak bisa mengendalikan gerakan-gerakannya untuk jangka waktu tertentu, saran Enny, berilah hadiah; entah berupa dibelikan buku cerita bergambar atau diajak jalan-jalan ke tempat yang disukai anak. Dengan demikian, anak akan semakin bersemangat untuk bisa mengendalikan
tics-nya
.