Gejala Perdarahan Setelah Proses Melahirkan -
Saya (33) ibu 2 anak. Si sulung perempuan umur 14 tahun dan si kecil laki-laki umur 2 tahun. Jaraknya cukup jauh meski saya tidak pernah ikut program KB. Bahkan untuk bisa hamil anak kedua saya mesti berobat dari dokter yang satu ke dokter lain, termasuk pengobatan alternatif. Alhamdulillah akhirnya Tuhan mengabulkan permohonan kami.
Saya hamil anak pertama umur 18 tahun, masih relatif muda tapi tidak ada keluhan sakit apa pun. Sebaliknya, waktu anak kedua dari awal kehamilan sampai munggu ke-32 masih mengalami pendarahan, walau tak banyak. Saya selalu cek ke dokter meski periksa kehamilan biasanya di bidan di sebuah klinik bersalin. Oleh dokter diberi obat, kalau tidak salah Dupaston. Sejak dinyatakan positif hamil hingga melahirkan saya juga tidak berani melakukan hubungan suami istri.
Pada usia kehamilan 35 minggu saya melahirkan secara normal. Namun kurang dari 2 jam setelah melahirkan, bahkan saat belum selesai dijahit, saya merasa ngantuk luar biasa sekaligus sakit luar biasa seperti mau melahirkan lagi. Saya mengejan dan ternyata keluar darah banyak sekali, kalau di kampung katanya kembar darah. Badan saya panas dingin, gigi gemeletuk kemudian tak sadarkan diri.
Menurut cerita keluarga setelah disuntik obat Gemetrin habis 40 botol baru perdarahan berhenti. Tapi saat itu saya masih belum sadar (kejadian itu berlangsung dari jam 19.00 sampai jam 6 pagi). Saya kemudian dilarikan ke RS dan dokter kandungan di RS tersebut bilang waktu saya tinggal 1 jam, hingga harus cepat dioperasi. Tanpa banyak pikir suami mengijinkan saya dioperasi, meski risikonya saya harus kehilangan rahim di usia yang relatif masih muda.
Yang ingin saya tanyakan, mengapa kehamilan saya yang pertama dan kedua begitu berbeda? Kejadian apa yang saya alami ditinjau dari sisi medis dan apa pula pertimbangannya saya dioperasi? Apakah tidak ada jalan lain? Apakah kejadian kembar darah yang saya alami tidak bisa dideteksi secara dini sewaktu periksa rutin kehamilan setiap bulan? Sebetulnya berapa lama setelah operasi saya boleh beraktivitas normal, termasuk melakukan hubungan suami istri? Dengan pengangkatan rahim, bagaimana dengan pola haid saya, apakah terhenti total atau tetap seperti sebelum operasi? Terima kasih banyak atas penjelasan mengenai segudang pertanyaan saya. Wassalam. (Astuti - Kediri)
Ibu tampaknya telah mengalami perdarahan pasca persalinan (PPP) yang prosesnya dipicu oleh persalinan preterm (kurang bulan) dan mungkin anemia saat kehamilan yang tidak terdeteksi. Di Indonesia sekitar 70% wanita hamil memiliki Hb kurang dari 11 gr %. Hal ini bisa menghambat pertumbuhan janin, selain buruknya kontraksi rahim pasca persalinan.
Sayang Ibu tidak menjelaskan berapa berat bayi Ibu. Bagaimana pula proses persalinan janin maupun plasenta, apakah lama? Secara normal ataukah dilakukan tindakan melalui vagina? Sampai saat ini PPP masih merupakan sebab utama kematian ibu pasca persalinan. PPP sebetulnya bisa dicegah bila setiap bidan atau dokter kebidanan dapat mengetahui sedini mungkin faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya PPP. Selain mampu memperbaiki kelainan yang ada. Setiap penolong persalinan pun seharusnya dapat melakukan "manajemen aktif kala tiga", yakni kala pengeluaran plasenta.
Ibu dapat membaca lebih rinci dalam buku yang saya susun dengan judul "Mempersiapkan persalinan sehat". Operasi pengangkatan rahim harus dilakukan bila jumlah perdarahan sudah terlalu banyak, kontraksi rahim buruk atau perdarahan masif tetap terjadi meski telah diberi obat-obat perangsang kontraksi rahim.
Sebaiknya Ibu tanyakan kembali kepada dokter yang melakukan operasi. Bila semua rahim diangkat atau hanya ditinggalkan mulut rahim (serviks uteri) saja, maka Ibu tidak akan lagi mengalami menstruasi. Bila seluruh rahim diangkat, vagina akan menjadi lebih pendek dan ini dapat mempengaruhi hubungan seksual, terutama pada tahun-tahun pertama. Namun dengan teknik bersanggama tertentu, masalah tersebut bisa diatasi. Mengenai soal ini dapat Ibu tanyakan langsung pada dokter kebidanan atau konsultan seksologi.
Mengenai aktivitas sehari-hari, dapat dilakukan setelah tiga bulan pasca operasi. Mulailah dari yang ringan kemudian secara perlahan ditingkatkan intensitas dan porsinya. Bila timbul keluhan, misalnya nyeri hebat di daerah operasi, maka aktivitas fisik harus dikurangi
.